BAB 44 Riyadhus Shalihin: Menghormati Para Ulama, Pembesar dan Orang Terpandang Serta Mengutamakan Mereka Dari Yang Lainnya

قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  ٩

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal sihat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 39: 9)

وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقبةَ بْنِ عَمْرِو الْبَدرِيِّ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا وَلَا يُؤمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدُ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Badri Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang berhak mengimamkan suatu kaum adalah orang yang paling pandai dalam membaca Al-Quran. Jika bacaan mereka sama, maka orang yang paling memahami tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika pemahaman dalam sunnahnya sama, maka orang yang terlebih dahulu berhijrah. Jika hijrah mereka sama, maka orang yang lebih tua umurnya. Dan janganlah seseorang mengimamkan yang lain di daerah kekuasan lain, dan jangan pula seorang itu duduk rumah orang lain itu di atas duduknya (orang lain tadi) kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim No. 673)

وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا. بَدَلُ سِنًّا: أَيْ إِسْلَامًا. وَفِي رِوَايَةٍ: يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَيَؤُمُّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا

Dalam riwayat lain disebutkan, “Maka yang lebih dahulu masuk islam.” Sebagai ganti (kalimat), “Maka yang lebih tua usianya.” Dalam riwayat lain disebutkan, Yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling fasih bacaan Al-Qur’annya, dan jika bacaannya sama, maka yang paling dahulu berhijrah, jika dalam berhijrah mereka pun sama, maka yang lebih tua umurnya.” (HR. Muslim no. 673, Abu Dawud no. 582, Ibnu Majah no. 980)

عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ وَيَقُولُ: « اِسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُوا الْأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلونَهُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.

Dari Abu Mas’ud bin Amr Al-Badri Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bahu kami menjelang shalat seraya bersabda, “Luruskanlah shaf kalian, dan janganlah kalian berselisih, maka niscaya akan berselisih hati kalian hendaklah yang belakangku orang yang tua yang dan memiliki pengetahuan, kemudian orang yang sesudah mereka kemudian orang yang sesudah mereka.” (HR. Muslim no. 432).

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهِ قَالَ: قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَلِني مِنْكُمْ أُولُوا الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ  ثَلاَثًا  وإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ  رَوَاهُ مُسْلِمُ .

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya yang ada di belakangku (ketika shalat) adalah orang-orang dewasa dan orang yang cerdas (paham agama). Kemudian orang-orang yang berada di bawah mereka. Dan janganlah kalian semua bercampur dan mengangkat suara seperti di pasar.” [HR. Muslim no. 432/ 123]

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ يَعْنِي فِي الْقَبْرِ ثُمَّ يَقُولُ: « أَيُّهُمَا أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ » فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dua orang yang mati terbunuh dalam perang Uhud di dalam satu liang kubur, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Mana diantara keduanya paling banyak hafalan Al-Quran?” Tatkala ada seseorang yang menunjuk kepada salah satunya, maka Rasulullah mendahulukan orang yang paling banyak hafalan Al-Qurannya itu untuk di masukkan ke dalam liang lahad.” [HR. Al-Bukhari no. 1343]

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أَرَانِي فِي الْمَنَامِ أَتَسَوَّكُ بِسِوَاكٍ فَجَاءَنِي رَجُلاَنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ فَنَاوَلْتُ السِّوَاكَ الْأَصْغَرَ فَقِيلَ لِي: كَبِّرْ فَدَفَعْتُهُ إِلَى الْأَكْبَرِ مِنْهُمَا » رَوَاهُ مُسْلِمُ مُسْنَدًا وَالْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku sedang bersuci (bersiwak) dengan satu siwak. Tiba-tiba datang padaku dua orang lelaki, salah seorang dari mereka itu, ada yang lebih tua. Lalu aku berikan siwak itu kepada yang muda, Tetapi ada orang berkata kepadaku, “Dahulukanlah yang lebih tua!” Lalu aku berikan kepada yang lebih tua dari keduanya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim secara musnad dan diriwayatkan pula Imam Bukhari secara ta’liq. [HR. Al-Bukhari no. 246 dan Muslim no. 19/2271]

وَعَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللَّهِ تَعَالَى إِكْرَامَ ذِى الشَّيْبةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ » حَدٓيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ.

Dari Abu Musa radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya tanda Allah memuliakan sesorang Islam yang mempunyai uban usianya, dan orang yang pandai tentang Al-Quran (hafal) tanpa melampui batas ketentuan (dalam membaca) dan tidak pula mengabaikannya serta memuliakan penguasa yang adil termasuk mengagungkan kehormatan Allah.” [HR. Abu Dawud no. 4843)

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيِهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا » حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحُ

Dari Amr bin Syuaib Dari bapanya Dari datuknya radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak termasuk golonganku, orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak mahu menghormati orang yang lebih tua.” [Shahih Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 355, 358, 363. Abu Dawud no. 4943. At-Tirmidzi no. 1920 Ahmad no. 2/185)

وَعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنٍ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنيهِمْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ القُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجْلِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الْأَمِيرِ فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ فَاسْتَأَذَنَ لَهُ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمَّا دَخَلَ: قَالَ هِي يَا ابْنَ الْخَطَّابِ: فَوَاللَّه مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ فِينَا بِالعَدْلِ فَغَضِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: { خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَـٰهِلِينَ } وَإنَّ هَذَا مِنَ الْجَاهِلِينَ. وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى. رَوَاهُ الْبخَارِيَّ.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dia berkata, bahwa Uyainah bin Hishn datang dan singgah menemui anak saudaranya yaitu Al-Hurr bin Qais, dan dia termasuk di antara orang yang terdekat dengan Umar radhiyallahu anhu. Ketika itu para ahli pembaca Al-Quran itu dijadikan sahabat dalam majlis Umar serta orang-orang yang diajak bermusyawarah bersamanya, baik orang tua maupun para pemuda. Uyainah berkata kepada anak saudaranya, “Wahai anak saudaraku, kamu ada kedudukan di sisi Amirul Mukminin, lalu mintalah izin untukku agar aku dapat menemuinya.” Lantas Al-Hurr bin Qais meminta izin untuk Uyainah. Tatkala Uyainah sudah menemui Umar dan dia berkata, “Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu belum memberi pemberian yang banyak kepada kami, dan belum juga engkau berbuat adil di antara kami.” Umar secara spontan marah hingga dia hampir-hampir hendak memukulnya, namun Al-Hurr berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Ambilah kemaafan dan suruhlah dengan yang baik, dan berpalinglah Dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A’raf: 7: 199) Dan sesungguhnya ini tergolong dari kalangan orang-orang jahil.” Demi Allah, Umar tidak jadi melakukan hukuman itu ketika Al-Hurr membaca ayat tersebut kepadanya. Umar adalah orang yang selalu memegang teguh kitabullah.” [Shahih Al-Bukhari no. 4642, 7286]

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ سَمُرَةَ بنِ جُنْدَبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَقَدْ كُنْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم غُلامََا فَكُنْتُ أَحفَظُ عَنْهُ فَمَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ أَنَّ هَهُنَا رِجَالاً هُمْ أَسَنُّ مِنِِّي. مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.

Dari Abu Sa’id Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu dia berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku masih muda. Aku selalu hafal apa yang datang Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mencegahku berbicara, kecuali jika di sana ada orang yang lebih tua Dariku.” [Shahih Al-Bukhari no. 1331, 1332 dan Muslim no. 964]

وَعَنْ أَنَسِِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: فَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا أَكْرَمَ شَابُّ شَيْجًا لِسنِّهِ إِلاَّ قَيَّضَ اللهُ لَهُ مَنْ يُكْرِ مُهُ عِنْدَ سِنَِّهِ » رَوَاهُ التِِّرْ مَذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثُ غَرِيبٌ.

Dari Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah orang muda menghormati orang yang lebih tua kerana umurnya melainkan Allah akan menjadikan untuknya orang yang menghormatinya kerana umurnya (di masa tuanya).” [HR. At-Tirmidzi no. 2022 dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Da’ifah no. 304]

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماًYa Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.(Qs. Al-Furqan [25]:74) 

Bersihnya Wadah Ilmu Sebab Ilmu Mudah Diperoleh

Wadah dari ilmu yang dimaksud adalah hati. Semakin hatinya bersih maka akan semakin mudah ilmu didapatkan. Seseorang yang ingin merasakan nikmatnya hidup dibawah naungan ilmu dan ilmu itu menjadi penghias bagi kehidupannya maka haruslah membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang ada di dalam hati dan menjauhi segala macam keburukan dan kemaksiatan.. Berkata Syaikh Shalih bin Abdillah bin Hamdil ‘Ushaimi,

فالعلم جوهرٌ لطيفٌ لا يَصلُح إلَّ للقلب النَّظيف

“Ilmu adalah permata yang sangat lembut, tidak layak kecuali ditempatkan di hati yang suci dan bersih.” (Khulashah Ta’zhim al-‘ilmi: 14)

Kebersihan hati harus menjadi titik awal pemberangkatan seorang terkhusus penuntut ilmu agar ilmu mudah masuk dan hati siap untuk menerima ilmu. Perkara yang membuat hati menjadi kotor adalah kehendak terhadap syahwat yang jelek sehingga membuat hati mengeras karena mengikuti syahwat yang disalurkan kepada hal-hal yang bukan pada tempatnya (negatif). Do’a yang diajarkan Nabi agar kita terhindar dari hawa nafsu yang jelek adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, amal, dan hawa nafsu yang jelek.” (HR. Tirmidzi, no. 3591)

Begitupula harus membersihkan dirinya dari perkara-perkara syubhat yang keadaan hukumnya masih samar apakah halal atau haram, sehingga baiknya bagi seseorang yang mendapati hal semacam ini untuk menghindarinya agar diri tidak berada dalam keraguan dan khawatir terjatuh dalam keharaman.

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

Upaya untuk meraih hati yang bersih maka seorang penuntut ilmu harus menghindari dua hal tersebut yaitu menghindarkan dari syahwat yang jelek dan menghindarkan diri dari perkara-perkara syubhat (perkara samar, yang belum jelas apakah termasuk perkara yang halal ataukah haram).

Bahkan Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta seseorang namun yang Allah lihat pada seseorang adalah hati dan amalan-amalannya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat imam Muslim. Dari Abu Hurairah radiallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Amalan hati ini lebih dahulu diperbaiki sebelum memperbaiki amalan lahiriyyah, yaitu diantaranya dengan menjauhi sifat-sifat tercela dan dengan menjaga aqidah dari kekeliruan dalam keyakinan. Rasulullah mengabarkan dalam hadits lain riwayat Imam Al-Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

”Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah jasad itu seluruhnya dan jika ia buruk, maka buruklah jasad itu seluruhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

Tatkala hati itu telah bersih ilmu akan mudah di dapatkannya dan hati akan mudah menerima kebenaran-kebenaran ilmu begitupula kemudahan baginya untuk mengamalkan ilmu yang di dapatkannya.

Perkataan dari Sahl bin Abdillah rahimahullah,

حرامٌ علىٰ قلبٍ أن يدخله النُّور ، وفيه شيءٌ ممَّا يكره الله عزَّ وجلَّ

”Haram bagi hati untuk dimasuki cahaya, sedangkan di dalam hatinya ada sesuatu yang dibenci oleh Allah.” (Tadzkiratus sami’ wal mutakallim)

Oleh: Ikbal Ropik

Artikel Tarbawiy.com